Pendekatan Realistik
Pendekatan realistik yang dimaksud adalah Realistic Mathematics Education (RME). RME pertama kali dikenalkan pada tahun 1971 di Belanda oleh Hans Freudental seorang matematikawan dan psikolog. Ide pokok dari RME yang diungkapkannya adalah “each individual discover mathematical structural in its own living environment and creates a personal concept of mathematics.” (Freudenthal, 1991). Dengan kata lain, ide pokok dari RME adalah supaya setiap individu menemukan struktur matematika pada lingkungannya sendiri dan membangun konsep matematikanya. Prinsip yang diungkapkan Freudenthal disebut sebagai “Guided Reinvention”.
Jika dilihat dari struktur bahasanya, Guided Reinvention berasal dari kata guided yang berarti membimbing dan reinvention yang berarti menemukan kembali. Secara makna, guided reinvention adalah pemberian kesempatan kepada siswa untuk melakukan percobaan melalui proses yang serupa dengan konsep matematika yang sebelumnya telah ditemukan (Gravemeijer, 1994). Dalam proses membimbing, pembelajar atau guru, perlu membuat rancangan pembelajaran yang dimulai dari pengalaman yang ada disekitar siswa (Fauzan, 2002:36). Fauzan (2002:36) mengatakan bahwa, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam meriilkan prinsip penemuan kembali.
Pertama, melalui pengetahuan tentangsejarah matematika kita dapat mempelajari bagaimana pengetahuan terbentuk. Akibatnya, pembelajar atau guru dapat membuat “tampilan” yang mirip dengan penemuan pengetahuan yang sebelumnya.
Kedua, dengan memberikan masalah kontekstual yang memiliki beragam solusi informal, dilanjutkan dengan pematematikaan solusi yang sejenis, siswa juga memiliki kesempatan dalam proses menemukan kembali. Akibatnya, pembelajar perlu menemukan masalah kontekstual yang memiliki berbagai solusi. Dilihat dari poin kedua yang diungkapkan Fauzan (2002), terlihat bahwa perlu adanya pematematikaan (mathematizing) yang dilakukan oleh siswa.
Menurut Traffers (1987) dalam Fauzan (2002:38), Pematematikaan adalah proses menyelesaikan masalah kontekstual pada aktifitas belajar siswa melalui pendekatan realistic untuk mematematikakan (mathematize) masalah kontekstual. Freudental (1968) juga mengungkapkan bahwa pada pendidikan matematika, poin utamanya bukan pada matematika sebagai suatu sistem yang tertutup, melainkan pada aktivitas, dalam hal ini proses pematematikaan, yang berangkat dari dunia nyata menuju ke dalam dunia simbol. Aktifitas pematematikaan meliputi generalisasi dan formalisasi (Gravemeijer, 1994).
Menurut Gravemeijer (1994), generalisasi berfungsi untuk memahami pada fase reflective sense (understand in a reflective sense). Sedangkan formalisasi meliputi pemodelan, penyimbolan, penskemaan, dan menggambarkan. Freudental (1971) menyebut pematematikaan sebagai suatu kunci dari pembelajaran matematika. Freudental menyebut demikian karena didasarkan pada dua alasan. Pertama, pematematikaan tidak hanya berupa aktifitas umum, tetapi juga dekat dengan siswa melalui matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, tujuan akhir dari matematika adalah membentuk suatu aksioma. Inti dari ide yang diungkapkan Fruedental adalah pematematikaan merupakan hal penting dalam pembelajaran matematika karena matematika juga terdapat dalam kehidupan sekitar, seperti jual beli barang, menghitung bruto dan netto, dll. Namun, bekerja dalam matematika tidak terbatas pada masalah sehari-hari tetapi juga masalah-masalah abstrak, sehingga dari masalah sehari-hari yang ada perlu dibuat pematematikaan sehingga konsep yang ditemukan dapat digunakan juga untuk masalah-masalah abstrak yang tidak terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Masalah pematematikaan yang diungkapkan Frudental, Gravemeijer, dan Traver, berkaitan dengan pematematikaan horizontal dan vertikal. Treffer (1987) dalam Gravemeijer (1994:117) pematematikaan horizontal mengarah pada prosesmendeskripsikan masalah kontektual dalam bentuk matematika.
Sedangkan pematematikaan vertikal mengarah pada aktifitas pematematikaan matematika oleh dirinya sendiri (one’s own mathematical activity). Contohnya, pada pematematikaan horizontal, siswa melihat brosur promosi pembelian sepeda. Pada brosur, siswa dapat membandingkan harga dari jenis sepeda yang satu dengan yang lainnya beserta keunggulan dari setiap jenis sepeda yang ditawarkan. Dari proses mencari perbedaan dan mencocokkannya dengan kebutuhan, siswa dapat menentukan jenis sepeda mana yang akan dibeli. Masalah jual beli sepeda merupakan masalah kontekstual yang dibawa ke dalam kelas melalui brosur pembelian sepeda.
Selanjutnya proses siswa membuat kesimpulan, generalisasi, dan lain sebagainya, merupakan proses dari pematematikaan vertikal yang dimaksud oleh Gravemeijer. Freudenthal (1991) mengungkapkan lima karakteristik yang terdapat pada RME, yaitu:
Dengan melihat karakteristik yang terdapat pada RME, dapat kita simpulkan bahwa RME adalah suatu pendekatan dalam matematika yang berfokus pada aktifitas matematika yang berhubungan dengan kehidupan siswa. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, aktivitas matematika yang akan diberikan kepada siswa adalah menyelesaikan masalah terkait dengan jual beli rumah yang terkait dengan brosur promosi rumah. Anda telah membaca Pendekatan Realistik
Jika dilihat dari struktur bahasanya, Guided Reinvention berasal dari kata guided yang berarti membimbing dan reinvention yang berarti menemukan kembali. Secara makna, guided reinvention adalah pemberian kesempatan kepada siswa untuk melakukan percobaan melalui proses yang serupa dengan konsep matematika yang sebelumnya telah ditemukan (Gravemeijer, 1994). Dalam proses membimbing, pembelajar atau guru, perlu membuat rancangan pembelajaran yang dimulai dari pengalaman yang ada disekitar siswa (Fauzan, 2002:36). Fauzan (2002:36) mengatakan bahwa, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam meriilkan prinsip penemuan kembali.
Baca Juga
Pertama, melalui pengetahuan tentangsejarah matematika kita dapat mempelajari bagaimana pengetahuan terbentuk. Akibatnya, pembelajar atau guru dapat membuat “tampilan” yang mirip dengan penemuan pengetahuan yang sebelumnya.
Kedua, dengan memberikan masalah kontekstual yang memiliki beragam solusi informal, dilanjutkan dengan pematematikaan solusi yang sejenis, siswa juga memiliki kesempatan dalam proses menemukan kembali. Akibatnya, pembelajar perlu menemukan masalah kontekstual yang memiliki berbagai solusi. Dilihat dari poin kedua yang diungkapkan Fauzan (2002), terlihat bahwa perlu adanya pematematikaan (mathematizing) yang dilakukan oleh siswa.
Menurut Traffers (1987) dalam Fauzan (2002:38), Pematematikaan adalah proses menyelesaikan masalah kontekstual pada aktifitas belajar siswa melalui pendekatan realistic untuk mematematikakan (mathematize) masalah kontekstual. Freudental (1968) juga mengungkapkan bahwa pada pendidikan matematika, poin utamanya bukan pada matematika sebagai suatu sistem yang tertutup, melainkan pada aktivitas, dalam hal ini proses pematematikaan, yang berangkat dari dunia nyata menuju ke dalam dunia simbol. Aktifitas pematematikaan meliputi generalisasi dan formalisasi (Gravemeijer, 1994).
Menurut Gravemeijer (1994), generalisasi berfungsi untuk memahami pada fase reflective sense (understand in a reflective sense). Sedangkan formalisasi meliputi pemodelan, penyimbolan, penskemaan, dan menggambarkan. Freudental (1971) menyebut pematematikaan sebagai suatu kunci dari pembelajaran matematika. Freudental menyebut demikian karena didasarkan pada dua alasan. Pertama, pematematikaan tidak hanya berupa aktifitas umum, tetapi juga dekat dengan siswa melalui matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, tujuan akhir dari matematika adalah membentuk suatu aksioma. Inti dari ide yang diungkapkan Fruedental adalah pematematikaan merupakan hal penting dalam pembelajaran matematika karena matematika juga terdapat dalam kehidupan sekitar, seperti jual beli barang, menghitung bruto dan netto, dll. Namun, bekerja dalam matematika tidak terbatas pada masalah sehari-hari tetapi juga masalah-masalah abstrak, sehingga dari masalah sehari-hari yang ada perlu dibuat pematematikaan sehingga konsep yang ditemukan dapat digunakan juga untuk masalah-masalah abstrak yang tidak terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Masalah pematematikaan yang diungkapkan Frudental, Gravemeijer, dan Traver, berkaitan dengan pematematikaan horizontal dan vertikal. Treffer (1987) dalam Gravemeijer (1994:117) pematematikaan horizontal mengarah pada prosesmendeskripsikan masalah kontektual dalam bentuk matematika.
Sedangkan pematematikaan vertikal mengarah pada aktifitas pematematikaan matematika oleh dirinya sendiri (one’s own mathematical activity). Contohnya, pada pematematikaan horizontal, siswa melihat brosur promosi pembelian sepeda. Pada brosur, siswa dapat membandingkan harga dari jenis sepeda yang satu dengan yang lainnya beserta keunggulan dari setiap jenis sepeda yang ditawarkan. Dari proses mencari perbedaan dan mencocokkannya dengan kebutuhan, siswa dapat menentukan jenis sepeda mana yang akan dibeli. Masalah jual beli sepeda merupakan masalah kontekstual yang dibawa ke dalam kelas melalui brosur pembelian sepeda.
Selanjutnya proses siswa membuat kesimpulan, generalisasi, dan lain sebagainya, merupakan proses dari pematematikaan vertikal yang dimaksud oleh Gravemeijer. Freudenthal (1991) mengungkapkan lima karakteristik yang terdapat pada RME, yaitu:
- Berangkat dari masalah kontekstual
- Menggunakan strategi yang tepat
- Pembelajaran mengggunakan model dan diagram
- Ada interaksi antara siswa dengan lingkungan
- Menggunakan media yang sesuai
Dengan melihat karakteristik yang terdapat pada RME, dapat kita simpulkan bahwa RME adalah suatu pendekatan dalam matematika yang berfokus pada aktifitas matematika yang berhubungan dengan kehidupan siswa. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, aktivitas matematika yang akan diberikan kepada siswa adalah menyelesaikan masalah terkait dengan jual beli rumah yang terkait dengan brosur promosi rumah. Anda telah membaca Pendekatan Realistik
Belum ada Komentar untuk "Pendekatan Realistik"
Posting Komentar